PEMIMPIN SEJATI
Keberhasilan dalam suatu kerja team berhubungan sangat erat dengan individu yang berada dalam team tersebut. kepedulian dan dukungan moril sangat dibutuhkan dari sebuah motilitas yang diharapkan dapat menyukseskan program kerja ataupun program da’wah dalam suatu wajihah ataupun oranisasi. Terkadang otonomi kepemimpinan pada salah satu kordinator menjadi suatu pengalihan yang tidak bertanggung jawab. Perlu dipahami bahwa otonomi kepemipinan bukan berarti sebuah ajang untuk melepaskan diri dari tanggung jawab yang harus diemban sebagai pemimpin dalam team ataupun dalam sebuah organisasi.
Tuntutan keberhasilan yang parameternya adalah kuantitas dan kualitas menjadi landasan dalam megerjakan tugas yang telah disepakati pada program kerja. Terkadang arrogansi dari pemimpin menjadi suatu kendala yang sangat besar dalam suatu proses kepemimpinan. Fungsi pemimpin pada dasarnya seperti nucleus dalam suatu sel, yaitu mengendalikan jalannya seluruh kegiatan sel, begitupula dengan tugas pemimpin yaitu megendalikan suatu organisasi, bukan justru menjustifikasi dan menjadi pengamat dari kerja –kerja team yang lain, tetapi juga mengevaluasi dan ikut melibatkan diri dari system replikasi yang telah dijalankan oleh kepemimpinan yang menatasnamakan ketua dari sebuah tim yang bernama organisasi.
Rapat sebagai ajang membagi pengetahuan dan ide serta semangat, tetapi terkadang rapat hanya menjadi ajang untuk mendengarkan celoteh dari beberapa manusia yang mendominasi, pemimpinan yang sejati adalah pemimpin yang dapat melahirkan pemimpin baru yang lebih progresif, sehingga rapat seharunya menjadi ajang pembelajaran untuk peserta rapat yang lain untuk dapat menuangkan ide-idenya dan saling bertukar ide satu sama lain, bukan justru mendominasi dan membuat yang lain menjadi resesif dengan ide-ide yang biasa jadi indah pada waktunya. Jangan sampai kegagalan untuk menghadirkan pemimin baru adalah akibat dari kesalahan pemimpin terdahulu yang tidak mengutamakan mendidik kadernya yang lain sebagai pemegang estafet kepemimpinan selanjutnya. Sering menjadi suatu dilemma pada beberapa organisasi sangat sulit untuk menghadirkan pemimpin yang dapat menggantikan kedudukan ketua pada sebuah organisasi. Ini adalah penyakit pada beberapa organisasi di tataran kampus, mungkin berbeda dengan organisasi ditataran masyarakat, karena kepemimpinan di tataran masyarakat itu biasanya dijadikan sebagai ajang ekspresi dari kepentingan dari beberapa orang atau beberapa golongan. Sehingga berdasarkan perbedaan tersebut menjadi skandal dalam mencari sosok pengganti pemimpin baru pada suatu organisasi kampus.
Satu hal yang ingin saya sampaikan pada tulisan ini adalah konsequensi moril seorang pemimpin sangat tinggi, dan ini setimpal dengan kemampuana individu yang telah Allah swt berikan segala potensi dalam diri inidvidu tersebut. Saya teringat pada suatu cerita tentang seorang ilmuwan yaitu Albert einsten. Pada suatu saat, ketika ilmuwan tersebut diminta untuk mengisi sebuah acara dan membawakan materi tentang teori relativitas yang ditemukannya, tetapi pada saat yang bersamaan ia mendapat penyakit dan otomatis tidak dapat menghadiri acara tersebut, sehingga dia berinisiatif untuk mencari pengganti, supirnya menjadi orang yang didelegasikan untuk menggantikannya, karena supirnyalah yang selama ini sering menemaninya pada saat menjelaskan materi relativitas, pada saat acara berlangsung, sang supirpun menjelaskan teori tersebut dengan gamblang dan tanpa cacat sama sekali. Cerita diatas menginspirasi kita bahwa posisi kepemimpinan dapat diduduki oleh siapa saja tetapi tentu saja melalui proses pembelajaran terlebih dahulu, dan proses pembelajaran dalam organisasi adalah melibatkan yang lain dalam proses tersebut sehingga diapun menjadi bagian dari proses . Sang ketua tidak mesti menjadi pembicara terus menerus pada suatu undangan, tetapi memilih suatu sosok yang dapat dijadikan sebagai pemimpin penerus estapet kepemimpinan itu. Inilah sejatinya kepemimpinan yang ideal.
an_nadiyahbio@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar